- Pendahuluan
“….The Logic of the early Kalam is Stoic in its base, and it was the Stoics who for centuries had to guard against the attacks of their skeptic adversaries”
(Josef van Ess, in Issa J. Bullouta An Anthology of Islamic Studies)
Pengaruh Filsafat Yunani klasik terhadap pemikiran Filsafat Islam
generasi awal memanglah sudah diakui keabsahannya oleh banyak pemikir
dan peneliti filsafat Islam. Akan tetapi, seberapa pengaruh pemikiran
tersebut terhadap Teologi Islam
, masih banyak perdebatan mengenainya. Dr. Syamsuddin Arif dalam tulisannya
Filsafat Islam; Tinjauan Historis-Kritis, membagi perbedaan pandangan tentang pengaruh ini dalam tiga pemikiran. Pada pandangan
pertama,
ada beberapa Islamis yang menyatakan bahwa filsafat Islam adalah
kelanjutan dari filsafat Yunani kuno, antara lain tampak pada pendapat
Ernest Renan (1852) saat berbicara konteks Filsafat Islam dalam
tulisannya mengenai Ibn Rusyd. Sementara pandangan
kedua
–diwakili pandangan revisionis- berpendapat bahwa filsafat Islam adalah
murni hasil kegiatan intelektual umat Islam yang telah dipupuk –bahkan-
sejak kurun pertama Islam, dan juga berasal dari kandungan Al-Qur’an itu
sendiri. Tokoh seperti M.M. Sharif (1966) adalah salah satu penggagas
pandangan ini. Pandangan
ketiga melihat filsafat Islam tidak
lain muncul sebagai reaksi atas doktrin agama lain (Yahudi dan
Kristiani) yang telah berkembang lebih dahulu pada waktu itu. Pandangan
dan teknik argumentasi para Teolog tidak lain adalah adopsi beberapa
pemikiran yang ada di tradisi filsafat Yunani. Pendapat yang terakhir
ini lah digawangi salah satunya oleh Josef van Ess.
Makalah ini, tidak lain adalah upaya studi secara sitemik terhadap struktur logika dari
Teolog yang lebih banyak disarikan dari bacaan dengan judul yang sama
The Logical Structure of Islamic Theology, karya Islamilog asal Universitas of Tübingen, Jerman, Josef van Ess. Makalah van Ess yang ditulisnya dalam antologi
an Anthology of Islamic Studies (dieditori oleh Issa J Bullota) adalah sebuah refleksi kritis atas struktur logika yang dibangun oleh Teologi Islam
. Tulisan van Ess menjadi semacam uji materiil atas metode-metode yang digunakan Teolog
untuk
menyusun keabsahan berfikir mereka. lebih jauh, van Ess juga menapaki
jejak-jejak filsafat Yunani klasik dari metode berfikir Kalam (juga
digunakan dalam studi Fiqh) dari umat Islam. Ia menggunakan metode
historis dan secara detail menganalisis corak berfikir para
mutakallimun, dan difokuskan pada perbedaan serta persamaan terminologi yang mereka digunakan, baik
mutakallimun sendiri
ataupun filosof Yunani klasik. Salah satu pendapatnya yang orisinil,
setidaknya menurut pembacaan penulis, ketika van Ess secara sistematis
mengahdirkankan bukti bahwa dasar struktur logika Teologi Islam adalah
berdasar pada logika Stoik, dan bukan logika Aristotelian seperti yang
banyak dikemukakan oleh penulis muslim.
Sebagai sebuah usaha membaca tulisan van Ess, makalah ini tentu
memiliki beberapa kekurangan di dalam pembacaannya, baik dari karya van
Ess secara khusus, ataupun pemahaman tentang logika berfikir Teolog
Islam
secara umum. Hal itu semata-mata berasal dari kemiskinan
pengetahuan dari penulis. Dan, atas masukan dan saran dari ruang diskusi
adalah ruang yang sangat konstruktif bagi makalah ini.
- Bagaimana Logika Dasar dari Teologi Islam?
Dalam tulisannya, van Ess membagi pembahasan ke dalam tiga tema
bahasan yang juga sekaligus menjadi pembagi bab dari makalah ini. Bagian
pertama ini dari tulisan tersebut, van Ess menelaah terminologi yang
digunakan oleh Teolog Islam
, seperti pengertian tentang “kalam”
itu sendiri. Ada beberapa terminologi lain yang cukup penting dipahami,
antara lain penyebutan
kalam,
sa’il-mas’ul sebagai subjek dari
adab al-jadal, serta keberadaan
wajhu-t-ta’alluq sebagai aspek penghubung, juga antara
madlul dengan
dalil dimana kebenaran itu dibangun. Menurut van Ess, istilah ‘kalām’ adalah terjemah dari
‘dialexis’,
‘diálektos’ dan
‘dialektika’ dalam bahasa Yunani kuno yang diartikan sebagai
logika demonstratif tentang kebenaran dari sebuah keyakinan. Istilah
ini, selanjutnyan dibedakan dari dengan struktur logika Aristotelian
yang didasarkan pada silogisme (adanya premis mayor, premis minor, dan
kesimpulan dan adanya
middle term dari kedua premis). Teolog Islam
sendiri sudah mengenal silogisme
a la Aristoteles, tetapi memaknainya dengan terminologi
qarina,
dan bukan
sulujismus atau
qiyas.
Beberapa di antara ahli Kalam tidak menggunakan terminologi
mantiq untuk menyebut metode berfikirnya, melainkan
adab al-kalam atau
adab al-jadal yang dipahami sebagai seni berdialog, menggunakan metode dialektik, semacam
jawab wa-su’al, dengan adanya
mas’ul dan
sa’il sebagai aktornya
. Karakter logika seperti ini terwujud dalam tesis
wa in qala qa’ilun …..qulna ….. atau
wa la yuqalu inna … li-anna naqulu… Karakter
dasar dari struktur logika ahli Kalam ini, kemudian memiliki beberapa
konsekuensi dalam praktiknya, antara lain 1) cara
penyampaian logika yang defensif.
Van Ess menyebut demikian, karena masing-masing dari kedua aktor secara
reaktif berusaha untuk menolak cara berfikir lawan bicaranya, sehingga
bukan kebenaran asali yang ingin ditemukan, melainkan kebenaran yang
muncul dari usaha merubuhkan rasionalisasi lawan bicara. Sebagaimana van
Ess berkomentar;
“Many of the arguments were made for momentary success; they
proved that one was right, but not always that one had the complete
truth. They were critical, but not constructive, valid, but not formally
valid; Kalam
means the triumph of the argumentum ad hominem
”
Selain itu, logika berfikir ini juga 2)
bersifat apologetik baik
di dalam internal kaum muslim, ataupun ketika berhadapan dengan kaum
Kristiani ataupun Yahudi. Dibalik sisi non-produktif tersebut, logika
ini memiliki aspek positif, yakni fleksibilitas ahli Kalam terhadap
pemikiran yang baru bagi mereka. Karenanya Pseudo-Qudama’ dalam
tulisannya
Kitab Naqd an-nathr membedakan antara
jadal dengan
bahth. Pada
kasus yang pertama, dialektika, seseorang akan memunculkan argument
menurut logika berfikir lawan debatnya, sedangkan pada kata yang
terakhir, dengan logika
burhani seseorang akan mencari kebenaran melalui bukti yang tepat.
- Teologi Islam; Logika Kaum Stoa atau Aristoteles?
Setelah melakukan studi atas kebenaran yang dibangun oleh logika
berfikir dalam Kalam, pada bab kedua, van Ess berkesimpulan bahwa metode
berfikir Kalam secara umum dapat dikategorikan memiliki basis dari
logika menurut Kaum Stoa (
Stoic), walaupun pernyataan itu bukanlah sebuah generalisasi. Baginya, pengaruh dari Plato, juga logika Aristotelian (
syllogism) juga masih terlihat dalam pemikiran kaum
Mutakallimun. Tetapi, yang terpenting dicatat oleh van Ess adalah adopsi ahli kalam terhadap logika
ma’ani atau
ma’na yang digunakan untuk menjelaskan tentang Tuhan, agaknya lebih dekat pada logika disjungtif dan hipotetik dari aliran Stoa.
Dalam hal ini, van Ess sedang berbicara tetnang pentingnya proses
istidlal di dalam
qiyas, dimana sebuah opini dibangun melalui bukti tersebut
. Disitu
terdapat beberapa terminologi kunci, misalnya proses tersebut harus melibatkan adanya
dalil (bukti) dan
madlul alaihi (sesuatu yang dianalogikan) serta pentingnya
ta’alluq di antara keduanya
. Selain ketiga aspek tersebut, terdapat mekanisme penilaian, yakni
wajhu at-ta’alluq (yang dilakukan sebagai proses memenuhi konsistensi dari sebuah logika).
Keterhubungan antara
dalil dan
madlul melalui
Ta’alluq memiliki
pengertian bahwa penanda selayaknya memiliki keterhubungan/paralelitas
dengan esensi dari benda yang ditandai. Misalnya, seorang anak yang
melihat punggung ibunya dapat saja menyimpulkan bahwa disitulah sang ibu
berada (memahami seluruh badan ibu di tempat tersebut). Tetapi pada
kasus lain si anak mendengar sebuah suara (barangkali mirip dengan suara
ibu), kemudian merasa dapat menyimpulkan pula bahwa itulah ibunya (yang
juga bagian dari esensi ibu). Pada kasus yang kedua,
ta’alluq tidak terjadi. Padahal, secara ghalibnya,
ta’alluq harus memiliki karaktker lebih spesifik, dan inilah yang disebut sebagai
wajh at-ta’alluq (bentuk
paralelitas). Contoh nyata dari logika ini adalah sebuah ayat dari
Al-Qur’an yang dipahami sebagai alasan –pasti- diturunkannya sebuah
perintah kepada umatnya, sebenarnya yang terjadi adalah “proses
menghubungkan” bahwa Allah adalah Maha bijaksana, yang Maha Mengetahui
segala kebaikan bagi umat-Nya dan menjauhkan umat dari keburukan bagi
mereka. Dari logika berfikir ini, van Ess memperlihatkan, bagaimana
proses pembuktian yang dilakukan dalam logika Teolog Islam, tidak
semata-mata menekankan pada bahasan tentang terminology yang saling
berbeda atau sama, lebih jauh, ini adalah persoalan
penilaian dan keputusan.
- Refleksi
Van Ess telah membuktikan bahwa nyatanya,
qiyas tidaklah sesederhana pembuktian satu pernyataan yang masih hipotetik atau masih diragukan keabsahannya melalui analogi. Praktik
istidlal untuk membuktikan keberadaan Allah, juga meragukan pendapat Teolog bahwa
qiyas adalah berbeda dari silogisme
. Qiyas, dengan
demikian –di dalam nalar Teolog Islam- adalah terminologi yang umum
bagi seluruh aktivitas penalaran untuk mendapatkan sebuah pengetahuan.
Atau,
qiyas juga bermakna seluruh usaha spekulatif (rasional)
yang menjadi penghubung bagi pengetahuan baru. Dan, generalisasi ini
memiliki kekhasan tersendiri bila kita menghubungkan struktur logika ini
kepada aliran Shiah yang dalam tataran Teologi nya lebih banyak
menghindarkan diri dari
qiyas, dan lebih menyandarkan putusan tentang teologi kepada Imam. Uniknya, Shiah bukannya menghindar –sama sekali- dari
Qiyas. Pemikiran individu (di dalam
qiyas) tidaklah memiliki nilai yang pasti dan final.
- Daftar Pustaka
Van Ess, Josef,
The Logical Structure of Islamic Theology dalam Issa J Boullata (ed.)
An Antology of Islamic Studies (McGill: Institute of Islamic Studies McGill University, 1970),
Adamson, Peter, 2005,
The Cambridge Companion to Arabic Philosophy, (USA: Cambridge University Press)
Pada masa Aristoteles logika disebut dengan analitika, upaya meneliti berbagai argumentasi yang berangkat dari proposisi yang benar, dan dialektika sebagai usaha meneliti argumen yang berangkat dari proposisi, dimana kebenaranya masih diragukan
Terminologi Qarina secara
etimologi berarti dua buah premis yang memiliki satu kesamaan/hubungan
terminologi di dalamnya. Terminologi ini mulai dipakai oleh para mantiqiyyun (ahli logika), satu generasi sebelum Al-Farabi. Tokoh yang terakhir juga menggunakan terminologi qarina sebagai premis kedua dari silogisme.
Pada bagian kedua dari tulisannya, van Ess juga mengkritik pendapat
Pseudo-Qudama’ atas perbedaan antara silogisme dengan qiyas. Bagi
Pseudo-Qudama’, pebedaan terletak pada –hanya- satu premis yang
digunakan dalam logika qiyas. Sementara, van Ess melihat, qiyas
juga terdiri atas dua premises, yakni dengan munculnya sebuah silogisme
(hipotetik) yang sebenarnya juga berasal dari tradisi Stoik.
Antara lain disebut oleh karya-karya Mutahhar b. tahir al-Maqdisi kitab al-Bad’ wat-ta’rikh, Pseudo-Qudama’ dengan Kitab Naqd an-nathr, juga Karaite al-Qirqisani Kitab al-Anwar, dan sebagainya.
Dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai concept, meaning, ataupu bahkan dipahami sebagai intelligible. Sedang dalam Yunani disamakan dengan intentio, tetapi secara semantik justru terlalu luas dari makna aslinya dalam bahasa Arab. Dalam penjabarannya, van Ess menjelaskan logika ini meliputi dari dua dalil (bukti), yakni commemorative sign, (istidlal bish-shahid ‘ala-l- shahid) merujuk
pada fakta yang telah diketahui. Missal, seseorang yang melihat asap
akan tahu itu sebagai petunjuk dari adanya api, karena ia sudah pernah
mendapatkan pengetahuan tentang asap yang muncul dari api (pembakaran). Kedua, indicative sign (istidlal bish-shahid ‘ala-l-ghaib), sebaliknya
adalah petunjuk yang tersembunyi karena seseorang belum pernah
mengetahui sebelumnya, dan mungkin tidak akan sepenuhnya mendapatkan
pengetahuan tersebut. Pada petunjuk yang pertama, Teolog Islam menggunakannya sebagai petunjuk akan adanya Tuhan. terakhir itulah dibangun dalil adanya Tuhan. Terminologi ma’na, atau ma’ani mencapai kemasyhuran di era filsafat Islam, terutama digunakan oleh Ibn Sina
Nyatanya, beberapa Teolog tidak sepakat menggunakan metode penalaran ini (
istidlal bish-shahid ‘ala-l-ghaib) untuk
memahami adanya Allah. Adalah ‘Abbad b Salman, seorang Mu’taziliyang
menolaknya karena penghubung yang digunakan tidak dapat merengkuh esensi
dari Allah sendiri, sehingga logika itu adalah sesuatu yang tidak
mungkin untuk digunakan kepada pengetahuan tentang Tuhan. Sedangkan,
madzhab Hanbali dengan
bila kaifa, menyatakan qiyas ini sebagai
praktik yang teramat sia-sia, karena manusia tidak memerlukan bukti
apapun untuk mengetahui-Nya, karena Al-Qur’an, yang diturunkan untuk
umat Islam, adalah nyata-nyata bukti adanya Tuhan itu sendiri.